Jumat, 11 Januari 2008

Cerpen tentang Harapan

Wanita yang Mengarang Harapan

Oleh: Didik L. Pambudi

Dia adalah wanita yang kukenal di suatu pagi ketika aku hendak mengisi dadaku dengan udara segar. Dia datang begitu saja tanpa salam tanpa senyuman. Ia manis dan menarik seperti biasanya gadis yang biasa bangun pagi. Tetapi yang paling menarik dari dirinya adalah kesukaannya pada imajinasi.
“Imajinasi membuat kita selalu memiliki harapan. Tanpa harapan kita tak tahu untuk apa kita hidup,” katanya.
Aku sendiri tak mengerti mengapa aku tertarik kepada wanita yang selalu muncul di kala fajar tiba. Ia tidak sedang berolahraga. Ia seperti juga aku hanya bangun untuk menikmati kicau burung dan sejuk embun.
“Burung-burung ini akan segera punah jika kita tak pernah menghargai perannya untuk menyenangkan para penghuni bumi,” katanya.
Aku tak mengerti, mengapa ia peduli, tetapi jelas aku sangat senang berada di dekatnya.
“Mungkin aku terlalu sentimentil ya? Aku memang seorang pengarang,” katanya.
“Pengarang apa?” Tanyaku.
“Apa saja.”
“Puisi?”
“Ya.”
“Cerpen?”
“Heeh.”
“Novel?”
“Kadang.”
“Skenario?”
“Pernah.”
“Tentang apa saja?” Tanyaku.
“Apa saja.”
“Kehidupan?”
“Ya.”
“Kemausiaan?”
“Heeh.”
“Alam?”
“Kadang.”
“Harapan?”
“Selalu.”
Aku tak pernah memahami mengapa gadis itu begitu senang mengarang. Ia mengarang dan menulis tentang apa saja. Sering aku malah tak mengerti apa yang dikarangnya, apa yang ditulisnya. Terlalu aneh.
“Mengapa kau menulis seperti ini? Begitu singkat begitu sulit dimengerti?”
“Ini puisi.”
“Apakah puisi harus ditulis demikian sulit dimengerti agar yang bisa memahaminya hanya orang-orang pintar saja?”
“Tidak juga.”
“Jadi untuk apa kau tulis seperti ini?”
“Karena puisi ini memuat harapan.”
“Mengapa harapan tak pernah bisa dijelaskan dengan bahasa yang mudah dan gampang?”
“Karena mewujudkan harapan memang tidak mudah dan gampang.”
“Jadi untuk apa kita memiliki harapan jika tak pernah bisa mewujudkannya?”
Dia melihatku dengan marah, “Berkali-kali aku katakan, kita terus hidup karena masih memiliki harapan. Tanpa harapan buat apa kita hidup?”
“Lantas mengapa harapan harus dibahasakan dalam bahasa yang sulit?”
“Karena demikianlah adanya. Karena begitulah peraturan yang ada. Peraturan yang membuat kita tak boleh bebas bicara harapan tanpa mengaduk-aduknya hingga pekat bagai comberan. ”
Dia memang tak pernah bisa mengggambarkan harapannya dengan bahasa yang mudah dimengerti. Ia menunjukkan padaku puisi, cerpen, cerbung, novelet, novel, skenario, bahkan roman yang ditulisnya, tetapi semuanya ditulis dalam bahasa yang tak bisa kumengerti.
Begitupun, tentu aku tak merasa perlu lagi untuk bertanya. Bukan karena aku akhirnya bisa mengerti sedikit demi sedikit. Aku hanya tak ingin kehilangan teman yang menyenangkan saat berbincang di kala fajar tiba.
Dia memang tidak selalu hadir untukku. Dia hanya datang setiap fajar tiba. Lantas undur diri sebelum orang-orang bergegas menuju kesibukan masing-masing.
“Mengapa begitu cepat?” Tanyaku.
“Aku harus menulis, harus mengarang,” katanya.
“Tentang harapan?”
Ia tertawa. “Kamu sesungguhnya berbakat menjadi seorang penulis yang baik. Kamu juga menyukai fajar.” Ia berlalu.
Aku tak tahu, apakah aku berbakat menjadi pengarang. Jika yang dimaksudnya sebagai seorang pengarang adalah seorang yang membicarakan harapannya dengan kalimat-kalimat yang tak pernah bisa kumengerti maka sesungguhnya gadis itu telah salah. Aku tak pernah bisa menggambarkan apa pun dengan kalimat yang sulit dimengerti karena dalam kalimat yang paling sederhana pun aku bahkan mengalami kesulitan besar untuk mengungkapkannya.
Jika yang dimaksudnya, aku berbakat mengarang karena menyukai fajar maka ia pun salah, aku tak pernah mampu mengambarkan indahnya fajar. Mendeskripsikan keindahannya bagi orang-orang. Aku hanya menyukai fajar. Aku menyukai sejuk dan embunnya.
”Aku tak akan pernah mampu menggambarkan keindahan fajar dalam bahasa yang begitu indah, dalam kalimat yang penuh dengan kata-kata puitis,” ujarku ketika kami bertemu lagi keesokan hari, menjelang fajar.
“Fajar memang susah untuk digambarkan keindahannya. Kita hanya menunggu-nunggunya tetapi ia tak juga muncul,” ujarnya dengan mimik sedih.
“Kau mungkin gila,” aku bercanda, ”setiap hari kita bersama duduk berdua menunggu fajar dan menikmatinya ketika fajar itu tiba. Sudah berhari-hari, bahkan berbulan-bulan. Bahkan sebentar lagi pun fajar itu akan terbit.” Lantas aku tertawa.
“Apa yang kau tertawakan. Memang tak pernah ada fajar yang sejati. Tak pernah ada harapan yang jelas. Harapan yang kau lihat di langit yang tampak memerah karena mentari mulai beranjak naik itu hanya harapan semu. Harapan yang cuma bisa kau pandang dan kau impikan, tetapi tak pernah bisa kau nikmati. Aku tak akan pernah kenyang dengan harapan atau fajar yang kau saksikan di langit itu,” ia memakiku.
Aku tentu tak sakit hati. Ia sudah biasa memaki kebodohanku yang dianggapnya tak pernah peduli pada harapan.
“Kita harus memperjuangkan harapan. Meskipun harapan itu cuma angan-angan yang tak pernah terwujud. Kita harus memperjuangkannya dengan cara kita masing-masing. Belajarlah membuat puisi,” ujarnya suatu kali memberi nasehat.
Tetapi aku tak pernah mengerti, bagaimana cara menuliskan harapan pada puisi. Ia memang telah menunjukkan ratusan puisinya yang katanya bercerita tentang harapan. Tetapi apa yang ia tulis itu ketika kubaca hanya rangkaian kalimat yang bercerita tentang perang; kematian, pengkhianatan, perampokan, korupsi, pembunuhan, kelaparan…. Aku tak pernah melihat harapan dalam puisi yang diceritakanya itu. Begitupun, aku kali ini tak ingin lagi menyatakan kebodohanku itu. Aku memang ingin selalu jujur padanya, tetapi aku tak ingin membuatnya menderita karena aku tak melihat harapannya. Aku bahkan berjanji padanya akan membuat satu puisi yang memuat harapan meskipun aku tak tahu apakah aku akan sanggup membuatnya.
“Kita memang harus memperjuangkan harapan. Terima kasih kamu juga akhirnya mau memperjuangkan harapan,” ujarnya yang bahkan harus mengusap air mata saking terharu mendengar janjiku.
Kemudian kami kembali bercerita tentang harapan. Sekali ini aku tak mau lagi mendebatnya. Aku tak pernah memprotes ceritanya tentang harapan yang tak pernah bisa kubayangkan seperti apa bentuknya. aku hanya mengikuti saja alur ceritanya. Aku amini saja ketika ia bercerita tentang petani renta yang kehilangan sawah, nelayan yang kini tak mampu lagi menjaring ikan di laut, prajurit yang gugur di medan laga entah untuk kepentingan siapa, gadis-gadis usia belasan yang telah mendagangkan kelamin mereka demi sesuap nasi. Aku mengiyakan saja seluruh ceritanya hingga kami berpisah.
Itulah fajar terakhir yang kunikmati bersamanya. Ia tak pernah lagi terlihat meskipun aku terus menunggunya dengan rasa rindu yang mendalam. Kemudian aku mendengar, banyak orang bercerita bahwa seorang gadis pengarang yang menentang penindasan hilang entah ke mana.
Aku tak tahu apakah sang gadis pengarang adalah gadis yang mengarang begitu banyak puisi, cerpen, cerbung, novelet, novel, skenario, bahkan roman. Aku tak tahu apakah gadis hilang itu adalah gadis yang menemaniku setiap fajar untuk mendongengiku tentang harapannya. Aku tak tahu.
Aku kini hanya mengungkapkan kerinduanku pada gadis itu dengan menuliskan berbagai puisi, cerpen, cerbung, novelet, novel, skenario, bahkan roman yang bercerita tentang tiadanya harapan. Aku tak pernah tahu bagaimana bentuk harapan itu. Aku hanya ingin membuatnya senang karena di satu puisinya ia menuliskan kalimat “di negeri biadab ini, mana pernah ada harapan”.
Kupikir, biarlah kalimat itu saja yang selalu kujadikan tema tulisanku.

Bumi 2007-2008