Jumat, 11 Januari 2008

Sastra Harus Bicara

Sastra Harus Bicara

Tujuh belas tahun lalu aku tertegun pada tulisan Budi Dharma: Seniman Pura-pura. Satu topik yang ia bahas dalam bukunya “Solilokui”.
Tak banyak yang kuingat dari buku itu. Aku hanya paham, bahwa apa yang matang dipikirkan kemudian dituliskan, selayaknya mesti disebarkan.
Tetapi sebagai apa dan di mana?
Pemberedelan Tempo; Editor; Detik. Penutupan kekejaman di Indonesia, mulai Aceh hingga Papua. Pemalsuan sejarah. Wartawan menjadi banci; menjadi kaki tangan penguasa. Tak ada keberpihakan pada rakyat. Lebih dikarenakan ketiadaan nyali.
Lalu Seno Gumira Adjidarma yang sangat menguasai bahasa menuliskan “Ketika Jurnalistik Dibungkam, Sastra (harus) Bicara”.
Lama sebelumnya, aku telah meyakini bahwa tulisan tak pernah membunuh; kata mesti dibalas kata; pemasungan pikiran hanya membasmi peradaban. Kebebasan bersyair; berekspresi mesti dijaga.
Sayang, tak ada kebebasan seperti itu di jurnalistik. Tak memadai kebebasan pada ilmu yang kupelajari sejak Desember 1999 hingga sekarang.
Tak ada yang mati karena pena; tulisan tak pernah membunuh. Tetapi pasal-pasal “jeruji” di KUHP membuatku ngeri. Bahkan seorang Bersihar pun terlihat lelah menghadapi para interogator. Peneliti-peneliti bayaran semakin menyadarkanku bahwa wartawan terjujur pun bisa terlihat “taik kucing”.
Tak ada jalan lain. Seno benar. Sastra harus bicara.

Tabik
Didik L. Pambudi


Muntah Tahi

Din tiba-tiba terserang penyakit aneh. Ia merasa selalu ingin muntah setiap melihat sosok para penguasa negara baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Penyakit itu menyerangnya kapan saja dan di mana saja. Tak ingat tempat, tak ingat waktu.
Penyakit itu mulai menyerangnya ketika teve 14 inci yang nonggok di kamarnya menyiarkan berita tentang para anggota dewan kota dan kabupaten yang ngamuk-ngamuk karena sebagian tunjangan untuk mereka secara mendadak dibatalkan pemerintah. Saat itu, tiba-tiba Din merasakan perutnya terasa amat mual, kepalanya mendadak pusing, dan mulutnya penuh dengan ludah. Lantas, tanpa bisa ditahan lagi, ia muntah-muntah saat itu juga
Ponirah, istrinya, sampai kaget bukan kepalang melihat muntah Din yang luar biasa banyak. Bahkan muntah itu seperti mengeluarkan semua isi perutnya hingga terlihat sangat menjijikkan dan baunya seperti bangkai.
“Aduh, Bang, kalau berak ya jangan lewat mulut,” ujar Ponirah, setengah mati menahan mualnya karena dia juga yang harus membersihkan muntah itu, sementara Din sudah hampir pingsan dan cuma bisa berbaring di bangku panjang terbuat dari bambu.
“Maaf, Pon. Mau bagaimana lagi, Abang pun tak ingin jatuh sakit,” ujar Din sembari mengusap air mata dan membuang ingus yang menyertai muntah-muntahnya.
“Ya sudah, besok Abang berobat saja ke puskesmas. Siapa tahu penyakit Abang parah,” ujar Ponirah setelah ia menanam muntah berbau bangkai itu, lantaran tak enak jika sampai mengganggu tetangga, di halaman rumah kontrakan mereka yang luasnya tak lebih dari empat meter.
Menuruti anjuran istrinya, begitu pagi datang, Din segera bergegas menuju puskesmas. Din yang tiba pukul 07.00 WIB terpaksa harus menunggu karena Ibu Dokter belum datang.
“Ya, memang biasanya begini, Pak. Bu Dokter baru masuk jam sepuluh,” ujar perawat yang merasa takut mengobati Din karena ketika ditanya, Din menyatakan, penyakitnya “muntah bangkai”.
Lama menunggu, akhirnya dokter tiba pukul 10.40 WIB. Din yang dari jauh melihat mobil dinas dokter, tiba-tiba merasa perutnya mual lagi. Selanjutnya begitu dokter turun dan berjalan ke puskesmas, Din tak dapat lagi menahan muntahnya. Muntah Din bahkan makin parah ketika dokter berjalan setengah jijik mendekatinya.
“Pak, jangan muntah di situ!” Teriak Bu Dokter, jijik campur marah.
“Huek! Maaf, Bu Dokter, saya sudah tidak tahan lagi…. Huek!”
“Aduh, Pak! Muntah bau bangkai begini, siapa yang mau membuangnya?!”
“Huek! Huek!”
“Muntahnya ditahan, Pak!”
“Huek!”
Setengah marah, Bu Dokter segera berlari ke dalam mencari perawat agar segera membawa Din ke ruang periksa. Ia sendiri sudah memutuskan untuk tidak akan memeriksa Din. Jika perawat nanti menyatakan sakitnya parah maka Bu Dokter akan segera mengeluarkan surat rujukan ke rumah sakit negara.
Orang bau bangkai begitu siapa yang tahan mengobatinya. Lebih cepat pergi, lebih baik, pikir Bu Dokter yang merasa lebih baik ia segera memeriksa obat paten yang diminta sebuah perusahaan farmasi untuk dijualnya bagi para pasien. Ya, untungnya lumayan bisa buat membelikan sepeda motor si ragil, pikirnya melupakan penderitaan Din.
Di ruang tunggu, Din tiba-tiba merasa aneh karena ia tidak muntah lagi begitu Bu Dokter menghilang dari pandangannya. Ia juga tidak muntah meskipun hidungnya jelas-jelas mencium bau tahi, dari muntahnya. Aneh, pikirnya.
Sayangnya, Din tak bisa lama-lama memikirkan keanehan itu. Din harus segera membersihkan lantai yang penuh dengan muntah. Habis, siapa lagi yang mau membuang muntah berbau tahi itu. Din tentu tak enak hati, jika para perawat yang harus membersihkan muntahnya. Mereka akan berkata, tidak digaji untuk membersihkan tahi, meskipun tahi yang keluar dari mulut.
Din pun bekerja secepat kilat. Bukan saja karena ia malu dijadikan tontonan para pegunjung puskesmas, juga karena ia mulai merasa ada yang aneh dengan penyakitnya. Ia khawatir bakal muntah lagi jika sampai melihat wajah Ibu Dokter karena hanya mencium farfum dokter yang sayup-sayup keluar dari ruang kerjanya pun Din sudah mulai merasakan mual.
Selepas membuang mumntah tahinya ke tong sampah, Din segera berlari ke rumahnya. Sepanjang perjalanan Din kerap merasa perutnya tiba-tiba mual setiap ia melihat orang-orang berseragam coklat, hijau, coklat muda, biru tua, biru muda, kuning, merah… Din bahkan harus kerap menutup matanya agar ia tidak bisa melihat wajah orang-orang yang langsung membuat perutnya mual itu.
Dalam perjalanannya menuju rumah, Din mulai tahu bahwa ia telah terserang penyakit yang menyerang jika ia berhubungan dengan aparatur negara. Satu-satunya cara menghilangkan penyakitnya ialah segera menghindari aparatur negara itu untuk bertemu dengannya. Din tak boleh bertemu dengan aparatur negara, rt sampai presiden.
Sesampai di rumah Din segera memanggil Ponirah, bininya.
“Bu, gawat, Bapak terserang penyakit aneh. Penyakit tititapan malaikat, Bapak enggak boleh lagi berhubungan dengan para koruptor. Orang-orang yang makan duit negara,” Din segera mengambil kesimpulan dari penyakit yang dideritanya. Kesimpulan yang menurutnya tepat karena begitu tiba di rumah dan teve sedang mati, ia malah merasa seperti sedang berada di Kebun Raya Bogor.
Din tersenyum puas membayangkan ternyata ia menjadi salah satu manusia yang menjadi pilihan Tuhan untuk tidak bisa berhubungan dengan orang-orang enggak beres di negaranya. Din pun melangkah dengan riang menuju meja makan. Ia membuka tudung saji dan segera mencomot tempe goreng yang dimasak Ponirah tadi malam.
Enggak bakal muntah, rasanya kayak daging onta, Din membaca mantra. Ajaib tempe yang sudah kayak papan kerasnya itu dirasakan Din senikmat daging sapi goreng. Ya, mungkin daging onta memang seperti daging sapi, Din bersyukur.
Setelah meminum segelas air putih hangat yang dirasakannya nikmat seperti soft drink, Din pun beranjak menuju kamar.
“Astaganaga… pantas Bune dari tadi diam saja, ternyata sudah kena penyakit muntah tahi juga,” Din pun mencampakan majalah yang cover depannya bergambar sang penguasa.
Ya, sebelum ia muntah lagi.
Citeureup 2007 – Depok 2008